Sebelum berbicara lebih lanjut mengenai topik ini, penulis merasa perlu menjelaskan bahwa ia ingin mencoba membahas topik ini dari dua sisi. Sisi pertama dibahas mengenai konsep nasikh-mansukh ini secara umum sebagai topik dari ulum Al-Qur’an dan juga Ushul Fiqh. Sisi kedua akan dibahas dalam tulisan ini dari sudut pandang materi mengenai dalil-dalil yang dalam kenyataannya memang benar-benar terjadi bahwa ada tradisi yang dalam kadar tertentu telah merevisi syariat.
Pembahasan Pertama
Dalam pembahasan ayat-ayat yang dirvisi (nasikh-mansukh) sebagai salah satu pembahasan Ulum Al-Qur’an, terdapat suatu pembahasan yang menarik. Yaitu mengenai pendapat beberapa kalangan tentang ‘kemungkinan’ adanya nasikh dan mansukh, yakni ayat yang direvisi dan merevisi satu sama lain. Menariknya bahwa di antara berbagai pendapat tersebut diungkapkan pula pendapat kalangan Yahudi mengenai nasikh-mansukh ini.
Sebagaimana diungkapan oleh Syaikh Manna’ Al-Qatthan di dalam Mabahits fi Ulum Al-Qur’an terdapat perbedaan pendapat mengenai kemungkinan adanya nasikh dan mansukh ini. Kaum Yahudi dan golongan Rafidlah telah berada di dalam dua ujung ekstrim yang saling bertentangan dalam hal ini. Di antara para ulama seperti Abu Muslim Al-Asfihani mengatakan bahwa nasikh-mansukh adalah dimungkinkan secara logika, tapi tidak mungkin ada secara faktanya. Adapun jumhur ulama mengatakan bahwa nasikh-mansukh ini adalah mungkin terjadi baik secara logika maupun kenyataannya.
Di dalam pembahasan Ulum Al-Qur’an, juga terdapat pembahasan mengenai pembagian mengenai kemungkinan terjadinya nasikh-mansukh. Hal yang mungkin pertama Al-Qur’an menasakh Al-Qur’an. Kiranya hal ini disepakati oleh jumhur ulama yang mengatakan bahwa nasikh-mansukh ini mungkin saja terjadi. Kemungkinan kedua adalah bahwa As-Sunnah menasakh Al-Qur’an. Kemungkinan ketiga adalah terjadinya Al-Qur’an yang menasakh As-Sunnah. Sedangkan kemungkinan keempat adalah terjadinya As-Sunnah yang menasakh As-Sunnah. Demikian kiranya jika kita melihat apa yang dibahas dalam kitab Ulum Al-Qur’an karya Syaikh Manna’ Al-Qatthan. Al-Qatthan dalam pernyataan terakhirnya mengenai sub-bahasan ini kemudian menegaskan bahwa: ‘adapun terjadinya nasakh kesemuanya itu dengan Ijma’ dan Qiyas, maka pendapat yang sahih adalah bahwa itu tidak boleh.’ (Mabahits fi Ulum Al-Qur’an: 236-237)
Dari penjelasan di atas kita melihat bahwa Syaikh Manna’ Qatthan tidak pernah menyinggung sama sekali mengenai kemungkinan terjadinya nash syariat yang dinasakh oleh tradisi. Di sisi lain, kita telah melihat bahwa di dalam Ushul Fiqh tradisi itu sendiri telah dibakukan sebagai salah satu sumber hukum, meskipun kekuatannya tidak semutlak dalil Al-Qur’an dan Hadits. Penetapan tersebut setidaknya kita jumpai dalam tiga bentuk yaitu: (1) ‘urf (yang bisa saja bermakna tradisi yang baru ada); (2) Amal Ahli Madinah (tradisi orang Madinah); dan (3) Syar’u man qablana, yang secara eksplisit merupakan pengakuan (mushaddiqan) terhadap ajaran ummat terdahulu.
Dalam faktanya, kemungkinan keenam ini, yaitu tradisi merevisi (menasakh) nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah terjadi saat ini. Kiranya kita akan melihat kenyataan ini dalam uraian bagian kedua di bawah ini:
Pembahasan Kedua:
Mungkin akan memerlukan lebih banyak waktu untuk mengidentifikasi berbagai kasus di mana tradisi telah menasakh nash Al-Quran. Akan tetapi mungkin disini kasus perbudakan adalah contoh yang paling mudah untuk diajukan.
Permasalahan perbudakan ini disinggung di dalam pembahasan Al-Qur’an di dalam banyak ayatnya. Dan hampir semua adalah membawa misi pembebasan budak, seperti: (QS. An-Nisa’:92); (QS. Al-Maidah:92); (QS. Al-Mujadalah:3); (QS. Al-Balad:13); (QS. Al-Baqarah:177); (QS. An-Nisa:1); (QS. Al-Maidah:117); (QS. At-Taubah:8,10,60) dan sebagainya.
Hanya saja, hal yang berkaitan dengan tema tulisan ini adalah statusnya terhadap tuannya yang bisa diperlakukan tidak manusiawi. Seperti bisa dikumpuli tanpa adanya status pernikahan dan sebagainya. Hal ini sebagaimana dibahas di dalam beberapa hadits seperti di dalam Hadits Bukhari Nomor 4912 (dari Anas bin Malik) yang menceritakan seorang sahabat yaitu Abi Said Al-Khudri yang melampiaskan hasrat seksualitasnya kepada seorang perempuan tahanan perang dalam kondisi perang (perang Bani Mushthaliq). Hadits Riwayat Nasai (Hadits No. 7651) juga secara implisit menceritakan bahwa seorang budak boleh dikumpuli layaknya istri meskipun tanpa ada akad nikah. Secara kebudayaan kita juga melihat bahwa masalah perbudakan di masa Arab pra-Islam adalah berasal dari rampasan perang atau karena jeratan hutang.
Masalahnya adalah, bagaimana dengan kondisi saat ini dimana tradisi perbudakan ini sudah tidak ada dan ditolah oleh hampir seluruh negara di dunia. Dalam konteks kebudayaan saat ini, apakah kita lalu akan melaksanakan sebagaimana dalam hadits Bukhari/Muslim dan Nasai di atas bahwa perempuan dari Negara yang kalah perang adalah budak yang bisa saja kita jadikan pemuas nafsu birahi?. Tentu saja ini mengecualikan pemahaman sekelompok ekstrimis dan sparatis seperti fenomena ISIS di timur tengah saat ini. Jawabannya tentu saja tidak. Dan ketika kita melakukannya maka akan ditentang masyarakat seluruh dunia dan berujung pada penghinaan Islam.
Jika saja kita masih ingin memaksakan hadits di atas, maka dengan sendirinya para wanita yang merupakan istri-istri para tentara Jerman dan Turki Utsmani yang bersekutu dalam Perang Dunia I adalah budak adanya. Dan karenanya ia boleh saja dikumpuli pasukan pemenang tanpa pernikahan karena telah menjadi budak disebabkan rampasan perang. Tentu saja tidak akan menerima hal ini, dan kiranya hanya kelompok ekstrimis dan sparatis saja sebagaiamana ISIS yang bisa menerimanya.
Kita menolak persoalan perbudakan tersebut secara kemanusiaan. Dan kiranya semua akan setuju bahwa Islam pada hakikatnya adalah ingin mengangkat derajat kemanusiaan kita setinggi-tingginya. Di sisi lain kita tidak bisa pula menolak kenyataan sejarah yang tertuang dalam hadits shahih yang sudah dipaparkan di atas. Dengan demikian, tidak bisa tidak kita akan menghindari pengamalan dua hadits itu. Dan dengan demikian maka dengan sendiri berarti kita telah menasahk nash hadits di atas dengan tradisi yang kita berlakukan saat ini bukan?.
Sekali lagi perlu ditegaskan di sini bahwa artikel ini mencoba menawarkan perspektif yang lain dalam hal kemungkinan adanya syariat yang direvisi oleh tradisi dalam kaitannya dengan nasakh-mansukh baik itu dilihat dari segi Ulum Al-Qur’an maupun Ushul Fiqh. kiranya ini layak dipikirkan bersama bagi yang menaruh perhatian dalam kedua bidang ilmu ini.
Hal-hal yang perlu diperhatikan
Sebagaimana kedudukan ‘Urf di dalam Ushul Fiqh sebagai sumber hukum yang terbatas, demikian pula kiranya ‘urf dalam masalah nasikh-mansukh ini. Jika saja di dalam ushul fiqh dinyatakan bahwa hanya tradisi yang sesuai dengan semangan syariatlah yang dapat diterima sebagai sumber hukum, maka demikian pula halnya dengan masalah nasikh-mansukh. Hanya tradisi yang sesuai dengan semangat syariat saja yang sah untuk menasakh nash Al-Qur’an dan As-Sunnah. Semangat ini pada intinya adalah maqashid syariah. Yaitu tujuan utama (high politic) dari tujuan syariat itu diberlakukan.
Malang, 6 Dzuqa’dah 1441 H / 27 Juni 2020 M
R. Ahmad Nur Kholis
Pegiat Kajian Ulum Al-Qur’an
Dosen Studi Al-Qur’an di STAINU Malang
Aktifis di Haraka Institute Junrejo Kota Batu Jawa Timur

Tidak ada komentar:
Posting Komentar