Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Malam ini, sewaktu artikel ini ditulis, penulis baru saja melaksanakan ziarah ke makam (maqbarah) kiai penulis, yakni KH Mohammad Mansjur. Penulis bertolak dari Kecamatan Pendem Kota Batu untuk pulang ke Ngajum dan mampir dulu di makam Kiai Mansyur itu. Waktu itu jam menunjukkan pukul 22:00 WIB lebih.
Dalam kesempatan ziarah kali ini, penulis menjadi teringat sewaktu beberapa tahun lalu ketika penulis pergi ziarah ke makam Syaikh Ihsan bin Dahlan Jampes Kediri. Perjalanan ini adalah kali kedua penulis kesana, dan merupakan pertama kalinya penulis ziarah sendirian. Waktu itu, penulis lupa tanggal dan tahunnya, saya menginap di sana sekitar 3 hari.
Ziarah penulis ke makam Kiai Mansyur ini hampir mirip dengan ziarah penulis ke makam Syaikh Ihsan bin Dahlan Jampes. Pertama karena penulis berdoa di samping makam Kiai Mansyur ini ketika menjelang tengah malam, sama seperti berdoa di samping makam Syaikh Ihsan. Kedua, karena penulis merasa bahwa penulis merasa dalam hatinya dan yakin bahwa Kiai Mansyur mendengar apa yang penulis baca dan beliau memanggil penulis, yang mana demikianlah kira-kira adanya Syaikh Ihsan bin Dahlan Jampes ketika itu. Ada suatu keyakinan (yang mungkin bisa dikatakan sebagai ilham) bahwa sang syaikh itu mendengar bacaan penulis itu.Mengenai ziarah ke Makam Syaikh Ihsan ini ada sedikit cerita kenangan yang sulit penulis lupakan. Yaitu bahwa ketika penulis membaca ayat-ayat Al-Qur’an di sanding makam syaikh, mulai habis isya’ sampai melewati tengah malam, sekitar jam 01:00, tiba-tiba penulis merasa gemetar, jantung penulis terasa berdetak kencang. Tiba-tiba turunlah hujan lebat di malam itu. Sehingga suara penulis menjadi tak terdengar terkalahkan oleh suara hujan yang turun itu. Penulis menjadi takut (mungkin seperti takutnya siti Maryam ketika kedatangan malaikat). Hujan itu begitu deras dan begitu tiba-tiba langsung deras. Hujan itu semakin deras adanya dan punggung penulis menjadi basa kuyup terkena air hujan dari samping makam. Penulis segera mengakhiri pembacaan Al-Qur’an dan pindah ke masjid dekat makam. Di sana penulis membuat tulisan semacam memoriam seraya berdo’a dalam hati: “Ya Allah!, orang yang aku kunjungi ini adalah, orang yang Engkau berkati dengan karya tulisnya. Jadikanlah aku terberkati oleh-Mu dengan tulisanku ini. Dengan izinmu Bismillahirrahmanirrahim….”
Lalu penulis menulis dengan pena yang penulis sengaja membelinya dan membawa dari Malang. Demikian pula buku yang penulis gunakan itu. (waktu itu Nokia masih berkuasa, dan Smartphone mungkin masih berupa prototipe yang masih dibayangkan pembuatnya, jadi saya tak bisa update status seperti sekarang ini)
Pengalaman penulis ziarah ke Abah Mansyur malam ini hampir mirip dengan pengalaman saya di Jampes Kediri itu. Demikianlah kisah pengalaman penulis.
“Al-Yauma Naktubu maa qaddamu wa atsarahum wa kulla syai’in Ahshainahu fi imaamin mubin”
(Pada hari kewafatan (kiai Mansyur dan Syaikh Ihsan) itu, Kami (Allah) mencatat segala apa yang telah (kiai Mansyur dan Syaikh Ihsan) persembahkan, dan monumen-monumen perjuangan mereka, beserta segala sesuatu yang ada peran mereka di sana diaudit dengan teliti)
***
Memikirkan kedua pengalaman ini beberapa saat, penulis menjadi teringat suatu kali ketika mendengar (atau lebih pasnya menonton) video ceramah Zakir Naik. Ceramah itu sepertinya disampaikan di negaranya, India. Ketika itu Zakir Naik kerepotan untuk menjawab pertanyaan seorang beragama Hindu mengenai makna dari sebuah ayat Al-Qur’an yang artinya:
“janganlah engkau mengira orang-orang yang meninggal di jalan Allah itu adalah mati. Namun sebaliknya, mereka adalah hidup di sisi Tuhan mereka.”
Ketika itu, Zakir Naik terkesan menjawab dengan jawaban yang sedikit dipaksakan dan absurd. Penulis memahami hal itu adalah sulit dijawab oleh Tuan Zakir. Karena ia mainframe yang ia gunakan dalam pemikirannya adalah pemikiran kaum puritan yang tidak mempercayai hal-hal mistik semacam ziarah kubur, barakah, tabarruk dan semacamnya.
Namun, orang-orang pengelana tabarruk seperti yang penah penulis di makam-makam wali songo, makam Batu Ampar dan sebagainya bukan hanya telah memahami ayat itu, melainkan juga telah mengamalkan. Bukan hanya mengamalkan melainkan juga meraka telah menjiwai makna ayat yang sulit dijawab oleh Zakir Naik.
Karangploso, Malang, 23 September 2019

Tidak ada komentar:
Posting Komentar