Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Setiap menerjemahkan lafadz al-Hamdu (dari kata kerja 'hamida' - 'yahmadu; berdasarkan wazan: 'fa-ila-yaf-alu') selalu saja di pesantren umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa jawa: "utawi sekabehani puji". Dalam kalimat: "Al-Hamdu lillahi", diterjemahkan dengan: " al-hamdu utawi sekabehane puji iku lillahi kaduwe Allah". Dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan: "segala puji bagi Allah."
Ada hadits shahih yang menyatakan bahwa: "setiap pekerjaan halal yang tidak dimulai dengan membca al-hamdulilah (memuji Allah), maka perbuatan itu tidak akan membawa keberkahan/kemanfaatan. Terdapat pula hadits yang menyatakan: "setiap pekerjaan halal yang tidak dimulai dengan: 'bismillah' (menyebut asma Allah) maka perjaan tersebut tidak akan membawa kemanfaatan.
Kemudian ada hadits dalam Riyadlussalihin tentang anjuran berdoa dengan dimulai hamdalah, yaitu: "setiap doa yang dimulai dengan "Al-Hamdulillah" (memuji Allah), maka pasti dikabulkan."
Lalu mengapakah setiap kata "Al-Hamdulillahi" diterjemahkan dengan: "(....)utawi sekabehane puji iku (....) kaduwe Allah". Atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan: "segala puji bagi Allah."?
Jawabannya adalah: Karena segala bentuk pujian adalah memang kembali kepada Allah. Para ulama mengklasifikasikan bentuk pujian ke dalam 4 (empat) macam; yakni: (1) Pujian Allah terhadap diri-Nya; (2) Pujian Allah terhadap makhluq-Nya; (3) Pujian makhluq kepada Allah; dan (4) Pujian makhluq kepada segala makhluq.
Kiranya bentuk pujian yang pertama (yakni pujian Allah terhadap dirinya) adalah jelas. Demikian pula bentuk pujian ketiga (yakni pujian makhluq kepada Allah), adalah jelas pula.
Adapun bentuk pujian kedua yakni: pujian Allah kepada makhluqnya dapat dijelaskan bahwa pujian tersebut pada hakikatnya adalah pujian Allah kepada dirinya. Karena Allah memuji ciptaannya sendiri. Dan ketika Allah memuji ciptaan-Nya itu berarti memuji dirinya sendiri. Kehebatan pada ciptaan hakikatnya adalah kehebatan sang pencipta. Demikian pula bentuk pujian yang keempat: yakni pujian makhluq kepada sesama makhluq. Secara deduktif dapat dijelaskan bahwa ini memgerucut pada bentuk pujian ketiga, yakni pujian makhluq kepada penciptanya. Jadi ketika kita memuji kepada seseorang pada hakikatnya kita memuji penciptanya. Demikian pula ketika kita membenci makhluk. Maka kita berarti membenci penciptanya.
Dapat disimpulkan disini bahwa dari empat bentuk pujian di atas mengerucut kepada bentuk pujian pertama dan ketiga. Hal ini dengan sendirinya juga mengatakan bahwa segala puji hanya bagi Allah.
Dengan demikian, maka perkataan "Al-Hamdu" (dalam bentuk ma'rifah (sepecial form)) tidak boleh dikoneksikan (diidhofahkan) dengan selain Allah dan asma-Nya. Dalam kebudayaan Arab pun hal ini tidak digunakan. Bahwa setiap pujian kepada manusia (selain Tuhan) disampaikan dalam bentuk mashdar (verbal noun) dan nakiroh (general form). Seperti lafadz "hamdan wa sykran".
Demikianlah. Wallahu a'lam....
Pamekasan, 17 Juni 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar