Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Saya pernah menjumpai seorang perempuan paruh baya. Perempuan ini memiliki toko yang menjual berbagai macam kebutuhan pokok masyarakat sekitarnya. Ibu tersebut kebetulan habis kena razia rokok illegal.
Dalam pada razia sedang berlangsung, dengan ditonton para pembeli yang kebetulan ramai di sana, sang ibu yang dirazia rokoknya mengomel kepada sekitar 8 (delapan) orang yang merazia: “Pak jangan dibawa pak rokok itu, saya beli pak bukannya mencuri. Itu semua ada uangnya pak saya beli. Kalau mau dibawa silahkan hitung berapa press lalu ganti rugi pak.” Kata sang ibu dengan polosnya.
“Ini kan rokok illegal bu?” kata si petugas.
“Saya tidak mengerti rokok illegal dan tidak illegal pak. Yang penting itu rokok saya kulakan. Di sini bukan pabrik pak jangan dirazia.” Kata sang ibu lagi. Peugas pun menyerahkan sejumlah uang 190.000 (seratus sembilan puluh ribu rupiah). Para pembeli yang berkurumun dan juga sang suami yang kebetulan ada di situ tercengang saja melihat keberanian sang ibu itu.
Kemudian saya bertanya kepada sang ibu apa nian perihalnya hingga ia berani melawan petugas itu?. ia lalu menjawab dan memaparkan banyak hal yang bagi saya adalah unik dan menarik.
Ia mengatakan bahwa memang rokok yang dirampas itu adalah rokok yang laris sekali. Hal itu jika dibandingkan dengan rokok-rokok yang populer lain yang nota bane-nya dikelola oleh perusahaan besar. Memang usut punya usut rokok tersebut hasil olahan rumahan (home industry).
“Saya ini berjualan saling membantu orang kecil.” Kata sang ibu kepada saya. “Rokok-rokok pabrik besar itu mungkin merasa usahanya mulai macet hingga ndak terima. Jadi saya ini orang kecil yang ingin menolong usaha orang kecil juga. Kalau saya mau dianggap keliru ya mungkin keliru, tapi saya tidak salah kan saya usaha dan tidak mencuri. Mereka yang menawarkan kepada saya juga tidak mencuri. Mereka orang kecil yang usaha sendiri.” Lanjutnya lagi. Memang jika kita lihat, di bebrapa jalan besar sering kita temui kampanye memberantas rokok illegal ini.
Mendengarkan perkataan-perkataan sang ibu yang dilatarbelakangi kekesalan itu saya menjadi ingat peristiwa beberapa tahun lalu di kecamatan asal daerah saya: Pakong Kabupaten Pamekasan. Hal mana peristiwa ini saya tahu dari koran jawa pos yang saya membacanya di Malang. Hasil pertanian tembakau dari Pamekasan konon merupakan tambakau terbaik nasional. Dan dari semua tembakau di seluruh kecamatan di Pamekasan, di Kecamatan Pakong lah tempat tembakau terbaik itu.
Peristiwa yang saya maksud ialah demonstrasi para petani tembakau terhadap gudang tembakau orang China Kim Soen. Para petani tersebut merasa beberapa periode panen tembakau selalu dirugikan oleh harga tembakau yang kacau. Sedari saya kecil memang setidaknya ada 2 (dua) gudang tembakau yang menampung hasil panen masyarakat di sana. Keduanya adalah Chang Ho dan Kim Soen yang didemo itu.
Penulis bukanlah ahli dalam bidang ekonomi dan juga bukanlah orang yang menggeluti dunia usaha. Melainkan seorang alumni pesantren yang sedari dulu berada di tengah-tengah dunia pendidikan. Sehingga apa yang diutarakan di sini lebih pada ingin menangkap logika rakyat kecil itu.
Beberapa tahun setelah saya membaca berita demonstrasi tersebut, maka mulai beredarlah rokok-rokok yang yang dikelola secara home industry para petani tembakau itu. ketika iu yang saya ketahui adalah di desa saya. Masyarakat sudah mulai banyak yang menikmati ‘rokok lokal’ itu dari pada rokok yang sudah mu’tabar dan beriklan di televisi maupun di baliho-baliho pinggir jalan itu.
Penulis menemukan 2 (dua) point bahasan dalam melihat fenomena ini. Pertama adalah bahwa logika yang digunakan masyarakat petani tembakau itu ada benarnya saja. Bahwa semua itu dilakukan dalam rangka usaha dengan jalan yang halal. Siapa dan agama yang manan mengharamkan jual beli. Masyarakat rupanya sudah mulai cerdas setelah dihimpit berbagai kesulitan dalam usaha pertanian mereka.
Penulis sendiri sering mendengar keluhan masyaraka setelah panen tembakau sejak setidaknya 7 (tujuh tahunan yang lalu. Mereka mengeluh akan kacaunya harga yang ditawarkan (atau dipaksakan?) pengepul China di gudang-gudangnya. Sangat berbeda dengan masa di mana penulis masih kecil. Bahwa petani tembakau merasa kebahagiaan ketika itu jika tembakaunya sudah laku.
“Beredarnya rokok kayak begini ini karena harga tembakau kita para petani rusak, meskipun hasil panennya bagus.” Kata seorang warga Pakong kepada saya suatu kal. Dalam konteks demikian, saya kira dengan alasan apapun masyarakat kecil tak boleh disalahkan dengan alasan mereka sendiri.
Kedua, penulis melihat bahwa jika kondisi demikian ini dibiarkan, dan pemerintah hanya concern pada pemberantasan rokok illegal, maka sayak kira tidaklah adil. Dengan sendirinya pemerintah terbawa kepada sikap membela perusahan rokok besar yang umumnya milik non pribumi. Maka dengan sendirinya pemerintah akan membiarkan bahkan mendorong konflik masyarakat kecil dengan perusahaan besar. Konflik antara pribumi dan non pribumi. Ini adalah bom waktu, karena ini pada hakikatnya persaingan usaha rakyat bawah dengan perusahaan raksasa. Di mana raksasa itu telah mulai merasa kewalahan menghadapi masyarakat kecil yang seumpama koloni-koloni semut yang mengerubung dan menggigit.
Adakah kiranya hal yang lebih baik dari pada pemberantasan rokok illegal tanpa cukai. Misalkan dalam bentuk pembatasan peredarannya saja bukan pemberantasan. Sehingga dapat dikelola misalnya dengan membatasi peredaran rokok dengan merek lokal tanpa cukai hanya pada regional tertentu umpamanya. Saya kira pemerintah dengan kajian para ahli akan mampu menemukan solusi lebih baik dari pada penulis yang bukanlah seorang pengusaha.
Saya mendengar bahwa di masa-masa yang lalu pemerintah sudah mampu menyelesaikan masalah-masalah seperti ini. Seperti permasalahan persaingan usaha bus ekonomi dan patas. Angkutan umum dan taksi, dan yang terakhir masalah pengemudi angkutan umum online. Saya harap bahwa pemerintah menaruh perhatian besar terhadap hal ini untuk menegaskan politik kerakyatannya untuk setia membela rakyat.
Penulis berharap bahwa masalah ini cepat selesai dengan sebaik-baiknya. Amin.
Lawang, Malang, 29 Januari 2018
(dalam perjalanan pulang ke Pakong Pamekasan)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar