![]() |
Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
KH Bahauddin Nur Salim, seorang ustadz atau kiai muda asal Rembang yang dalam pengajiannya yang senantiasa dikemas secara klasik namun sering melontarkan pemikiran-pemikiran segar dan 'rasa baru' dalam kajian-kajian keislaman pesantren. Akan tetapi, semua pemikiran baru itu masih tetap dalam koridor kepesantrenan.
kali ini saya tertarik untuk membahas salah satu bagian pengajian pria yang akrab dipanggil 'Gus Baha' ' itu yang menyebar di media sosial dan diberi judul "Kere Aktif." Pada dasarnya, tema demikian ini tidaklah diberikan gus baha' sendiri. Melainkan pihak yang mengedit dan memotong video dan menyebarkannya itu. Karena pengajian gus baha' sebagaimana dalam tradisi kepesantrenan diselenggarakan dalam forum-forum informal dan memang sepertinya tidak untuk dishare di media sosial sebagaimana umumnya para ustadz muda saat ini.
Salah satu bagian yang menarik dan akan saya bahas di sini adalah bagian ceramah Gus Baha' yang isinya secara agak panjang demikian:
"Pak, ora ono beras! Apa hubungane karo aku arepe mulang. Kulo Al-Hamdulillah nate melarat lami ten Jugjo 5 tahun nggeh mboten nate mboten mulang. Lek wayahe mulang nggeh mulang. Coro kulo mlarat ambek mulang niku ora no hubungane. Lha opo wong mlarat ten nisor-nisore tol niku mulang? Lah iku yo mlarat banget. Paham nggeh?
Sak niki mayarakat niku ngawur. Kadang: "sak iki wis rabhi ojo ngaji. Mikir ekonomi." Opo sing ra ngaji trus yo sugih? Sing kere ya tetep kere. Dadi mboten enten hubungane kere ambek ngaji niku. Wong sing kere ora ngaji nggeh pirang-pirang. Sing ngaji kere nggeh pirang-pirang.
O. Lak ngono yo athuk ngaji, kere yo entuk ganjaran, aja sampek wis kere ra entuk ganjaran. Lha ini namanya "kere aktif". Itu bagus dalam syariat Allah kere aktif niku itu nopo? Bagus. Paham? Dadi ngaji niki mugho-mugho barokahe ngaji niki kito kere aktif. Ojo sampek kere pasif"
Dalam terjemahan bebas Bahasa Indonesia statemen tersebut adalah sebagai berikut:
"Pak, tidak ada beras! Apa hubungannya dengan saya mau mengajar?. Saya Al-Hamdulillah pernah lama hidup miskin di Jogja 5 tahun yang ndak pernah tidak mengajar. kalau waktunya mengajar ya mengajar. Menurut saya miskin dan mengajar itu tidak ada hubungannnya. Lha, apa orang miskin di bawah-bawah jembatan tol itu mengajar?. Lha itu miskin sekali. Paham ya?
Sekarang masyarakat itu sembarangan. Kadang (ada yang berpendapat): "Sekarang sudah nikah jangan ngaji. Memikirkan Ekonomi (saja)." Apa yang tidak mengaji lalu kemudian kaya? Yang miskin ya tetap miskin. Jadi tidak ada hubungannya miskin dengan ngaji itu. Orang yang miskin tidak mengaji yang banya sekali. Yang ngaji miskin yang banyak sekali.
O. Kalau begitu ya lebih baik mengaji. Miskin ya dapat pahala, jangan sampai sudah miskin tidak dapat pahal. Lah ini namnya "kere aktif". Itu bagis dalam syariat Allah kere aktif itu apa? bagus. Paham? Jadi ngaji ini semoga saja barokahnya ngaji ini kita bisa menjadi kere aktif. Jangan samapi kere pasif.
Dalam kutipan di atas sengaja ada beberapa kata yang dicetak tebal (bold) dan miring (italic). Karena kata-kata itulah yang hendak menjadi fokus bahasan.
Secara, kajian ontologis logika, Gus Baha' telah mencapai konklusi pada dua pernyataan yang telah ia lontarkan di awal wacananya yakni: (1) "Apa hubungannya dengan saya mau mengajar.?", (jawa: "Apa hubungane karo aku arepe mulang?"); dan (2) "Menurut saya miskin dan mengajar itu tidak ada hubungannya." (Jawa: "Coro kulo mlarat ambek mulang niku ora no hubungane.").
Dengan melihat kedua pernyataan itu kita menjadi tahu bahwa statepen pertama itu adalah pernyataan yang dimaksudkan untuk menyatakan bahwa antara 'ketiadaan beras' dengan 'mengajar' adalah tidak ada hubungannya. Hal mana telah menjadi jelas ketika pernyataan nomor 2 (dua), yakni kalimat ketiga dalam paragraf itu dilontarkan.
Kita bisa saja membahas proses pengambilan kesimpulan tersebut secara ontologi logika deduktif. Tapi dalam kesempatan ini saya tertarik untuk membahasnya dalam kacamata Epistimologi Filsafat Determinisme. Karena saya berkeyakninan bahwa Gus Baha' merupakan pengikuti Al-Asy'ari yang merupakan penganut Determinisme itu. Hal ini setidaknya jika saya memperhatikan pengajian-pengajian beliau yang lain. Juga dengan melihat bahwa beliau adalah orang pesantren. Dimana rata-rata pesantren di Indonesia adalah Ahlussunnah Wal Jamaah khusunya Asy'ariyah.
Saya menyatakan bahwa pernyataan Gus Baha' yang menyatakan "Menurut saya miskin dan mengajar itu tidak ada hubungannya." (Jawa: "Coro kulo mlarat ambek mulang niku ora no hubungane.") adalah kurang tepat, jika dipandang dari sudut pandang filsafat Determinisme.
Hal ini karena dalam filsafat determinisme, ada 2 (dua) term besar yang dibicarakan, yakni: (1) "Bahwa semua yang terjadi telah ditentukan pada masa sebelumnya." Dan (2): "Terjadinya segala sesuatu itu melalui sarana 'kausalitas'." Di mana kausalitas Deterministik dengan Realistik adalah berbeda. Dalam filsafat Determinisme, kausalitas itu bukanlah 'sebab-akibat murni' melainkan hanya kebiasaan. Berbeda dengan filsafar Realisme yang menyatakan 'kausalitas dalam alam' itu benar-benar ada.
Dimisalkan jika kita memasak air, maka air yang semula dingin menjadi panas setelah dipanaskan dengan api. Secara deterministik dapat dikatakan bahwa: "Tuhan telah menentukan dan berkehendak bahwa pada jam sekian menit dan detik sekian serta hari, bulan dan tahun sekian akan ada air mendidih di suatu tempat. Dan panas itu Tuhanlah yang membuat atau menyebabkan. Adapun api, itu hanya perantara saja. Adalah biasanya bahwa air jika dipanggang di atas api menjadi panas. Tapi bukan apilah yang menyebabkan panas, melainkan tuhan." Demikianlah. Namun secara realistik kita dapat mengatakan bahwa: "Air mendidih disebabkan karena dipanaskan di atas api. Karena memang api diciptakan Allah dengan kekuatan (potensi) bisa memanaskan benda lain." Demikianlah. Di dalam Islam, contoh mencolok antara penganut Deterministik dan Realistik adalah Imam Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd.
***
Saya melihat bahwa, Gus Baha' mengharapkan untuk menerangkan dengan kaca mata Determinisme itu. Akan tetapi dalam pandangan saya ia 'agak sedikit keliru' dalam menggunakan istilah hubungan. Karena Determinisme sama sekali tidak 'meniadakan hubungan'. Determinisme hanya "menghilangkan sebab akibat (kausalitas)."
Jadi memang benar bahwa: "ngaji tidak menyebabkan miskin". Dan "Mengurus Ekonomi tidak menyebabkan kaya." Akan tetapi bukan berarti "hubungan antara ngaji dengan miskin" atau "antara mengurus ekonomi dengan kaya." Karena hubungan itu masih tetap ada.
Membahas filsafat determinisme paling mungkin dan paling mudah dipahami jika kita membahasnya dengan sarana 'teori peluang' (probabilitas). Secara probabilistik konsep yang sebenarnya ingin disampaikan gus baha' itu dapat kita nyatakan sebagai berikut:
"Peluang untuk menjadi miskin akan lebih mungkin terjadi jika kita hanya ngaji. Dan peluang untuk menjadi kaya lebih mungkin terjadi jika kita mengurus ekonomi. Tapi miskin atau kaya itu tidak disebabkan karena kita mengaji atau mengurus ekonomi. Melainkan disebabkan kehendak Tuhan."
Demikianlah dalam pendapat saya. Jika kita sama sekali meniadakan kausalitas dan hubungan (relasional) sekaligus, maka kita akan terjatuh pada paham fatalistik Jabariyah. Maka jika saya boleh menambahkan, saya menyatakan demikian:
"Peluang untuk menjadi pandai akan lebih mungkin terjadi jika kita mengaji. Dan peluang untuk menjadi kaya lebih mungkin terjadi jika kita mengurus ekonomi. Tapi kepandaian itu tidak disebabkan oleh mengaji. Sebagaimana pula kaya tidak disebabkan karena mengurus ekonomi. Melainkan disebabkan kehendak Tuhan."
Terlepas dari tulisan ini dan perbedaan pendapat kecil seperti ini. Saya tetap menaruh hormat yang setinggi-tingginya kepada Gus Baha'. Karena intelektualitasnya itu, yang juga merupakan karunia Tuhan.
Wallahu a'lam
Malang, 27 Maret 2019

Tidak ada komentar:
Posting Komentar