Rabu, 25 Maret 2015

EPISTIMOLOGI NASR HAMID ABU ZAYD

(Komentar Terhadap Kitab Mafhum An-Nash fi Dirasah Al-Qur’an)

Oleh : Ahmad Nur Kholis

A.    Pendahuluan
Sebuah doktrin atau ajaran yang beruhubungan dengan ideologi, haruslah diuji dengan perkembangan zaman dan ideologi (paham) lain yang bertentangan—atau memang sengaja menantangnya--. Dari situ kita dapat melihat kebenaran sebuah ajaran teruji ketahanan oleh waktu dan zaman yang selalu bergerak dinamis.
Dalam agama Islam sendiri bisa dikatakan bahwa sebuah perdebatan dan kritik terhadap pendapat lama yang dianut ummat Islam dalam waktu yang lama adalah sebuah kewajaran yang lumrah. Sebagaimana keberadaan Jabariyah yang didukung Muawiyah bin Abi Sufyan dikritik oleh Muhammad Al-Hanafiyah dengan Gerakan Qadariyah Ula. Kemudian gerakan yang terakhir ini direformasi oleh Washil bin Atha’ dengan gerakan Mu’tazilahnya. Lalu Mu’tazilah dikritik Abul Hasan Al-Asy’ari yang mendirikan Ahlussunnah wal Jama’ah. Dan Ideologi Mayoritas Islam ini kemudian dikritik pula oleh Muhammad Abduh.

Sebuah Pemikiran baru yang bersifat reformis dan bahkan revolusioner tersebut biasanya didorong oleh semangat dan kegelisahan anak muda yang terpelajar melihat kondisi masyarakatnya dalam memahami dan mengamalkan agamanya di satu sisi. Di sisi lain keinginan mereka untuk membuat risalah Islam mampu menjawab kondisi sosial terkini yang mana dalam pendapat mereka sebagain besar ajaran agama Islam adalah mengatur urusan sosial. Dan jumlah ayat yang memerintahkan ibadah personal jumlahnya hanya sedikit. Bahkan dalam beberapa kasus, jika sebuah ibadah personal tidak bisa dilakukan maka harus dianjurkan untuk dengan ibadah sosial. Sebagaimana jika saja seseorang tidak bisa melaksanakan puasa karena usia lanjut maka memberi makan orang miskin sebanyak 60 orang.
Sebuah pemikiran baru itu bisa saja dianggap kontroversial minimal saat pertama kali dimunculkan seseorang. Akan tetapi pada akhirnya bisa juga diterima masyarakat luas. Beberapa contoh menunjukkan hal tersebut. Mulai dari Imam Syafi’i dengan kitab Ar-Risalahnya untuk membuat standardisasi Metodologi penggalian hukum sampai pada KH Machfoedz Sidiq yang membuka pesantren bagi kaum perempuan, dan lain sebagainya.
Pada masa ini, meskipun masih merupakan bagian yang sangat berpengaruh dalam peredaban manusia, namun ummat Islam telah jauh ketertinggalannya dalam peradaban dunia. Ibadah yang dilakukan Ummat Islam seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya hanya terhenti pada sebatas membayar kewajiban belaka dan menjadi lambang kesalehan yang monoton. Sedangkan buah dari ibadah tersebut yang berdimensi kepedulian sosial kirang tampak. Bahkan banyak terjadi kesalah pahaman ummat dalam memahami dan menghayati Islam, sehingga menjerumuskan mereka pada dunia khayalan dan angan-angan. Ahmad Amin dalam bukunya yang berjudul yaum Al-Islam-nya menyayangkan akan maraknya kepercayaan Islam akan malaikat dan setan yang ditambahi oleh ummat Islam sendiri dengan berbagai khayalan.
Nasr Hamid Abu Zayd mungkin termasuk tokoh kritis Islam pada zaman sekarang yang dipenuhi keinginan untuk menjadikan dan benar-benar membuktikan bahwa Islam Shalihun fi Kulli zaman. Sedangkan mengenai Hermeneutika sendiri yang ia pakai hanyalah sebuah alat saja, yang banginya tidak lebih dari sebuah ‘alat masa kini’ untuk memahami Islam dengen konteks sosial sekarang. Sebagaimana sebuah teleskop canggih pada zaman sekarang sebagai alat untuk melihat bulan, di mana di masa Rasulullah bulan dilihat tanpa alat. Dan hal ini, tidaklah aneh, jika kita memahami bahwa sebuah kitab suci yang mengaku dari Tuhan haruslah diuji dengan waktu.
Permasalahanannya adalah apakah Nashr Hamid dengan pemikirannya sebagaimana dalam kitab Mafhum An-Nash memenuhi untuk dikatakan atau lebih pasnya ditolerir sebagai sebuah tafsir al-Qur’an ditinjau dari berbagai aspeknya ?, dalam tulisan ini kita akan mengujinya.

B.     Nasr Hamid Abu Zayd; Tujuan dan Cita-citanya
Nashr Hamid Abu Zayd dalam menulis Kitabnya yang berjudul Mafhum An-Nash berangkat fakta sejarah bahwa Islam pernah dipimpin oleh rezim militer yang oteriter dari kalangan Seljuk, Turki dan Dailam. Kemudian dilanjutkan dengan dominasi Dinasti Usmaniyah atas Dunia Islam hingga perang Dunia I. Nashr menganggap bahwasanya faktor ini saja sudah cukup untuk menghancurkan gerak interaktif antara teks dan realitas. Oleh karenanya perkembangan intelektual termasuk juga terhadap Al-Qur’an menjadi hilang.
Abu Zayd menyayangkan bahwasanya kenyataan dalam Dunia Islam Al-Qur’an sebagai teks yang penuh makan dan sumber segala pemecahan masalah kehidupan manusia pada kenyataannya sekarang hanya menjadi mushaf yang dibaca saja. Jarang yang menelaah dan mengkaji substansinya. Demikian pula perkembangan “ilmu-ilmu Al-Qur’an” dalam perjalanannya sampai sekarang tidak mengalami perkembangan berarti.
Dalam hal yang terakhir ini, Nash Hamid Abu Zayd tidaklah menyalahkan apa-apa yang telah diusahakan Ulama-ulama terdahulu dengan karya-karyanya dalam bidang Ulum Al-Qur’an dan Tafsir, melainkan bersikap kritis kepada ummat Islam generasi sekarang yang tidak mengembangkannya. Baginya, usaha-usaha Ulama terdahulu adalah benar adanya dalam konteks zaman itu, yakni Perang Salib. Motifnya adalah ingin mengamankan khazanah ilmu agama Islam dan identitas kultural agama ini. Sehingga mereka menghimpun semua khazanah itu dan menutup diri dari kultur bangsa lain sehingga jadilah apa yang kita ketahui sekarang. Jika saja hal ini tidak dilaksanakan, maka hilanglah identitas budaya Islam.
Namun sekarang, Ummat Islam tidak lagi harus menutup diri dari bangsa lain, dan sebaliknya haruslah terbuka dengan kultur dari luar. Dan dalam hal ini, Islam juga harus dipahami dan diuji dengan segala macam piranti budaya dan ilmu yang berasal dari luar, dimana yang menonjol saat ini adalah budaya dan ilmu yang berasal dari barat. Islam dengan Al-Qur’an sebagai kitab sucinya haruslah terbuka dengan wacana-wacana kontenporer.
Dalam hal ini, jika kita melihat ringkasan tujuan dari Nashr Hamid, maka memang masuk akallah apa yang menjadi wacananya. Karena dalam kenyataannya, Islam yang membawa semangat keilmuan yang tinggi melalui kitab suci Al-Qur’an dan juga dengan cita-cita yang sangat luhur, namun dalam kenyataannya sangat kontras dengan kondisi ummatnya saat ini. Ummat Islam masih terbelakang dalam peradaban dan terjajah dalam budaya. Dengan membaca tujuan Nashr Hamid Abu Zayd sebagaimana terdapat dalam Mafhum An-Nash kita dapat menyimpulkan bahwa tujuan yang diinginkannya adalah melepaskan Ummat Islam dari keterbelakangan dan keterjajahan dlam budaya dan peradaban. Hal ini kita setuju.

C.     Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd dalam Kitab Mafhum An-Nash
Metodologi Tafsir (Epistimologi)
Pertama, Nashr Hamid mengajak kita untuk tidak saja menerima apa adanya sebuah tradisi yang kita terima saat ini. Dalam hal ini termasuk Al-Qur’an ia golongkan sebagai tradisi yang diwariskan dari orang terdahulu kepada kita saat ini. Ia mengajak untuk memahami tradisi denga latar belakakang ilmiah, supaya tradisi yang kita pegang dan jalankan saat ini memiliki sandaran obyektif yang kuat.
Dalam merumuskan metodologinya, Nashr Hamid berangkat dari teks Al-Qur’an yang dilihat dari segi lingkungan yang mengitarinya di mana Al-Qur’an itu diturunkan. Ia mengajak khususnya kepada para pakar ilmu-ilmu ke-Islaman untuk memahami makna yang terkandung dalam Al-Qur’an kembali kepada makna pada masa ketika ia duturnkan dan di tempat mana diturunkan. Karena ia menganggap bahwa dengan demikianlah substansi dan motif penurunan ayat-ayat al-Qur’an dapat dipahami secara obyektif dalam tataran ilmiah. Dari pemahaman akan bahasa tersebut, maka kita mencari apa yang sebenarnya menjadi semangat dibalik bahasa tersebut. Hal ini terlihat jelas dalam Mafhum An-Nash pada pembahasan mengenai mekanisme teks, antara lain: i’jaz, Munasabah antar ayat dan Surah, Ambiguitas dan distingsi (mujmal-Musytarak), Umum-Khsusus (Amm-Khass) dalam Al-Qur’an dan pembahasan mengenai Tafsir dan Ta’wil.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa metode yang disuguhkan dalam kitab Mafhum An-Nash adalah metode imiah dan kebahasaan. Metode ilmiah dan bahasa berkaitan erat dengan filsafat, di mana Metodologi Ilmiah adalah bagian dari epistimologi dalam filsafat dan Bahasa merupakan sarana berpikir Ilmiah. Pada akhirnya, saat ini keduanya (Metodologi Ilmiah dan Bahasa) ini kita kenal dengan hermeneutika.
Sebagai sebuah sarana untuk mencoba memahami makna Al-Qur’an Filsafat (metodologi Ilmiah dan Bahasa) tidaklah salah untuk digunakan. Karena keduanya merupakan alat bantu saja. Bahkan jika kita melihat bahwasanya Filsafat adalah pencarian sebuah kebenaran sesuatu melalui peranan akal, maka haruslah diakui bahwasanya upaya yang dilakukan Abu Zayd memang dianjurkan oleh Al-Qur’an. Bukankah banyak kita temui dalam Al-Qur’an ayat-ayat yang mengajak kita berpikir dan merenung?.
Dengan menerima keabsahan filsafat sebagai sarana memahami Al-Qur’an, maka kita juga harus menerima jika saja hasil pemahaman yang dilakukannya sendiri diyakini oleh dirinya sendiri pula. Hal ini adalah logis dilihat dari sisi manapun. Karena menolak pemahaman orang lain berdasarkan ilmu atau potensi yang dimiliki seseorang adalah tidak logis sama sekali. Dan jika kita pahami, bahwasanya dalam penafsiran Al-Qur’an metodologi itu bisa saja berubah dan Al-Qur’an pun tidak akan hilang keluhuran dan kesuciannya jika kita menggunakan metodologi tersebut, kita tidak akan meolak apa yang diupayakan oleh Abu Zayd. Apalagi jika kita memahami tujuannya adalah untuk membawa Ummat Islam memimpin peradaban dunia. Dalam kaidah-kaidah tafsir, hal ini memang haruslah dimiliki oleh seorang mufassir.

Kitab Mafhum An-Nash: Silahkan Download di sini!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar