Jumat, 05 Juli 2024

PENTINGNYA TERJEMAH HADIS PADA MASA PEMBANGUNAN

KH. Wahid Hasjim

(download di sini!)

Oleh: K.H. A. Wahid Hasjim

(1) Saudara Murtaji, seorang Pemuda Islam di Malang baru-baru ini bertanya kepada saya: Bagaimanakah nasibnya angkatan (generasi) yang akan datang ditinjau dari pendidikan Islam? Ia bertanya demikian, karena dilihatnya anak-anak muda sekarang, yang mestinya banyak mengetahui tentang ilmu-ilmu ke-Islaman, ternyata pengetahuan mereka tentang Islam terbatas pada pokok-pokok rukun (kewajiban) Islam yang lima saja. Ia bertanya selanjutnya: Tidakkah itu suatu tanda, bahwa angkatan (generasi) yang akan datang akan makin jauh dari pada Islam? Ia mencontohkan beberapa anak-anak yang orang tuanya terdiri dari pada Ulama, ahli-ahli agama yang dalam pengetahuannya tentang hukum-hukum dan Ilmu Islam tetapi mereka itu kini tidak lebih pengetahuannya dari anak-anak orang lain yang bukan Ulama’. Terbatas pada ilmu agama (Islam).

(2) Kepadanya saya jawab, bahwa menurut pendapat saya, hal itu tidak perlu, dan tidak boleh mengecilkan hati kita. Dan hal itu tidak dapat dijadikan bukti, bahwa angkatan (generasi) yang akan datang, akan jauh dari Islam. Kita harus memandang kepada persoalan ini dengan cara yang teliti. Jika kita periksa betul-betul dengan otak yang dingin dan pikiran yang tenang, akan dapat kita ketahui, bahwa ada kekhilafan kecil di dalam caranya orang tua-tua dahulu memandang. Mereka dulu mencampur-adukkan antara tujuan mendidik anak menjadi orang yang beragama dan orang yang berpengetahuan agama. Untuk menjadikan orang beragama, tidak perlu orang itu diharuskan (ditentukan) mempunyai ilmu agama terlalu dalam dan luas. Sebaliknya orang yang berilmu pengetahuan agama tidak mesti menjadi orang yang beragama dengan baik. Acapkli kita dapati seorang yang tidak berpengetahuan agama dengan luas dan dalam, beragama lebih sempurna dari pada orang yang berpengetahuan agama dalam arti yang dalam dan luas. Juga sering kita dapati, orang yang mengerti betul ilmu-ilmu agama dengan sedalam-dalamnya, perbuatannya tidak memberikan nama baik sebagai orang beragama.

(3) Pada zaman Rasulullah s.a.w. dulu jumlah shahabat (ya’ni orang-orang Islam yang telah berjumpa dengan beliau, walaupun sebentar, atau dengan bahasa sekarang, orang telah didaftarkan) di waktu beliau berpulang ke rahmatullah berjumlah kira-kira 125.000 orang. Dari jumlah sekian itu jika dihitung yang merupakan ahli-ahli ilmu agama, tidaklah banyak bilangannya: menurut pengiraan tidak lebih 2000 orang, artinya tidak lebih dari 2%. Walaupun begitu masyarakat cukup memuaskan dan boleh dibanggakan dan sekalian rakyat atau umat Islam di waktu itu seluruhnya dengan khidmat dan ikhlas, menaati perintah-perintah dan kewajiban-kewajiban agama Islam.

(4) Pada umumnya orang yang belajar agama, menghabiskan waktu dan umurnya di dalam pelajaran ilmu fikhi. Dan ilmu fikhi itu hingga pada saat ini dituliskan orang di dalam bahasa Arab: maka di samping mempelajari fikhi sebagai ilmu dari buku-buku yang tertulis dalam bahasa Arab tadi, orang juga mempelajari bahasa itu sendiri dengan segala serba-serbinya, nahwunya, sharafnya, balaghahnya, bahkan mempelajari nahwunya itu pun dengan cara yang dalam. Orang lupa bahwa bahasa (lughah) dan ilmu yang dikandung bahasa tadi bukanlah merupakan satu hal, tetapi dua yang dapat dipisahkan. Sebenarnya ilmu fikhi yang dikandung bahasa Arab itu, dapat juga dikandung (ditulis) di dalam bahasa lain, bahasa Indonesia, bahasa Inggris atau lain-lainnya.

(5) Dari uraian di atas, terdapat kesimpulan, bahwa pada masa yang lalu, orang telah memahamkan dua hal:
Pertama, salah memahamkan antara orang yang taat beragama dan orang yang berpengetahuan agama; sebagaimana orang yang bersikap taat pada undang-undang negeri, tidak usah menjadi “ahli” hukum negeri sebagai rechtskunding, juga orang yang bersikap taat pada agama, tidak usah ia menjadi “ahli” agama. Orang yang bersikap taat pada undang-undang negeri cukuplah mendengar, bahwa sesuatu hal adalah larangan undang-undang, dan dengan demikian ia lalu menjauhi larangan tadi. Demikian juga yang bersikap taat pada agama, cukuplah mendengar, bahwa (Allah) mewajibkan ini dan melarang itu, dan dengan demikian ia lalu menaati kewajiban tadi (menjalankannya) dan menghentikan cegahan tersebut (meninggalkannya).
Kedua, salah memahami antara ilmu agama yang merupakan isi dan bahasa yang mengandung (memuat) ilmu tadi; dan oleh karena kesalahann faham demikian, ia lalu mendahulukan belajar bahasa asing yang memuatnya, tidak mendahulukan isinya; dan setelah waktu (usia) yang dipakai untuk mempelajari bahasa itu habis, serta dorongan untuk lekas terjun ke dalam hidup berumah tangga dan bekerja mencari nafkah telah tiba, maka terhentilah kesempatannya belajar di tengah jalan; akhirnya ia lalu menjadi orang terapung-apung setengah matang.

(6) Karena salah memahami soal yang pertama tadi, maka orang tua-tua masa yang lalu mengambil sikap bahwa pendidikan anak-anaknya harus ditujukan pada maksud untuk menjadikan mereka itu “ahli-ahli agama”; dan akibatnya ialah kurangnya kesediaan anak-anak itu setelah menjadi dewasa, untuk ikut berlomba-lomba dalam perjuangan hidup yang bersifat modern ini. Lain dari pada itu, seandainya maksud orang-orang tua pada masa yang lalu untuk menjadikan anak-anaknya “ahli-ahli agama” semuanya itu berhasil, akibatnyapun belum tentu memuaskan. Sebab jikalau seandainya seluruh isi negeri penuh dengan ahli-ahli agama, siapakah yang akan mengisi cabang-cabang penghidupan lain yang beraneka-warna dan yang luas itu?

Kesalahan memahamkan mas’alah yang kedua itu membawa akibat, suatu gambaran yang mengelirukan. Sebenarnya ke-Islaman dan ke-Araban adalah dua hal yang berpisahan, masing-masing berdiri sendiri. Akan tetapi karena salah memahamkan soal tersebut, lalu menimbulkan pendapat yang mencampur-adukkan antara ke-Islaman dan ke-Araban; suatu pendapat yang perludiperbaiki. Apalagi jika diingat, bahwa ke-Araban di dalam hal ini, adalah ke-Araban di dalam gambarannya yang lama, sedangkan ke-Araban yang moderna pada waktu ini masih belum dimasukkan orang ke Indonesia. Pada akibatnya kesalahan memahamai perbedaan antara ke-Islaman dan ke-Araban itu, jika dipkirkan dengan tenang dan teliti, adalah suatu langkah yang tidak sewajarnya (tidak thabi’ie), seperti langkah Jepang dahulu untuk me-Nipponkan otak serta jiwa anak-anak kita. Ini tidaklah berarti, bahwa saya tidak menyetujui orang mempelajari ilmu-ilmu agama Islam dengan menggunakan bahasa yang mengandungnya ialah bahasa Arab. Maksud saya ialah tidak menyetujui meng-Arabkan angkatan (generasi) kita yang akan datang dengan memakai bahasa dan adat istiadat Arab yang berbeda dari pada bahasa dan adat istiadat Indonesia. Dalam pada itu bagi orang yang ingin menjadi ahli betul tentang ilmu agama Islam, maka tiada lain jalannya kecuali melalui bahasa yang mengandungnya. Akan tetapi hal itu hanya bagi orang-orang ahli yang sedikit jumlahnya; sedang bagi umum, bahasa kita sendiri tetap merupakan hal yang penting bagi orang yang ingin membaca atau mempelajari ilmu-ilmu agama sebagai kesukaan. Perlu dikemukakan, bahwa dengan pengetahuan bahasa Indonesia saja, orang mustahil dapat mengerti ilmu agama Islam dengan sesungguhnya sebagaimana juga mustahil orang akan dapat mengerti ilmu tehnik jika menggunakan hanya bahasa Indonesia saja. Oleh karena itu salah sekali anggapan remeh yang dikemukakan orang, bahwa dengan sekedar membaca-membaca buku-buku yang cukup untuk menjadikannya seorang “mufti” yang memberikan keputusan dalam soal-soal keagamaan Islam.

(7) Berdasarkan atas pikiran-pikiran yang demikian itulah saya memandang penting buku Terjemah Hadits Bukhari ini; penting untuk dibaca dan dipelajari dan untuk menimbulkan keinginan mempertinggi nilai ilmu ummat Islam di Indonesia, akan tetapi untuk menjadikannya pegangan guna menentukan suatu pendirian keagamaan Islam, orang perlu mempelajarinya lebih jauh lagi dari bahasanya yang orisinil (asli), untuk mencegah kebiasaan yang menganggap remeh itu. Bagi perkembangan ilmu di kalangan ummat Islam di Indonesia terjemahan-terjemahan semacam ini berguna sekali; makin banyak makin baik. Kekuatiran bahwa syarah (penjelasan) sebagai anggapan lama, tidak pada tempatnya, asal mereka yang menggunakan terjemahan-terjemahan itu insaf akan kekurangannya dalam pengertian, apabila hanya memakai terjemahan-terjemahan itu saja.

(8) Hal ini perlu sekali dikemukakan, oleh karena soal ini masuk soal-soal khilafiyah yang sering-sering membawa pertengkaran dengan tidak ada gunanya. Masa pertengkaran itu sudah lewat; kini telah sampai masanya orang berkompromi, mengambil jalan dengan atau menyatukan kedua jalan (syntese) dengan mengambil kebaikan dari kedua macam cara memandang yang berbeda-beda. Khilafiyah itu timbul karena cara memandang berlainian; hal itu sejak zaman junjungan kita Muhammad s.a.w. dulu telah ada; acapkali sayidina Abu Bakar dengan sayidina Umar berselisih pendapat, karena caranya memandang berbeda. Walaupun begitu mereka tidaklah bermusuh-musuhan seperti halnya umat Islam di zaman yang akhir-akhir. Permusuhan yang timbul karena perbedaan pendapat sebenarnya tidak disebabkan karena pendapat yang berbeda itu; tetapi karena soal lain, yaitu karena anggapan, bahwa tiap-tiap pihak menyangka akan dapat memaksakan pendapatnya pada pihak lainnya. Padahal paksaan pendapat itu tidak pernah dapat dijalankan, walau dengan kekuatan pedang sekalipun.

(9) Mudah-mudahan dengan terjemahan ini, tergeraklah hati pengarang-pengara dan penulis-penulis untuk mengikutinya dengan terjemahan yang lain-lain, dan kemudian disusuli dengan penjelasan-penjelasan (syarah-syarah atau komentar-komentar) yang berguna untuk menegakkan syari’at Islam di Indonesia ini. “yaa ayyuhalladziena aamanu’stajiebu li’llahi wa-lirasuuli idzada’aakum lima yuhyie kum” Al-Qur’an surat Anfaal ayat 24 (hai golongan orang yang percaya pada Allah, penuhilah ajakan Allah dan Rasul-Nya, apabila ia memanggilmu kearah yang akan menghidup-kan kamu).



Jakarta, 15 Syawal 1370 H

19 Juli 1951 M

Tidak ada komentar:

Posting Komentar