Kamis, 11 April 2024

KITAB KUNING: KHAZANAH ILMU KEISLAMAN WARISAN ZAMAN SKOLASTIK


Dengan menyebut kitab kuning di sini, yang dimaksudkan utamanya adalah sebagaimana dijelaskan Martin van Bruinessen adalah kitab kuning berbahasa arab yang yang ditulis para sarjana Islam abad pertengahan. (Bruinnessen, 1990); (Bruinnessen, 1995). Abad pertengahan sendiri merupakan sebutan yang dibuat oleh para cendikiawan pasca renaissance untuk menyebut zaman (age) yang menjadi penengah antara zaman klasik Yunani dan masa modern. Pada masa ini adalah masa kejayaan masyarakat persekolahan. Oleh karenanya disebut sebagai masa skolastik. Masa di mana perkembangan dan pewarisan ilmu pengetahuan benar-benar berpusat kepada dunia persekolahan (schooling).

Geertz (1960) menyebutkan bahwa salah satu ciri dari pola pendidikan masa skolastik ini adalah rigid, detail (terperinci). Ilmu keislaman diwarisi dalam kaitannya dengan aspek-aspek yang demikian sangat terperinci sekali. Redja Mudyahardjo (2001) menjelaskan bahwa metode pembelajaran pada masa skolastik ini adalah dengan pembacaan (dikte) terhadap bahan ajar yang disediakan guru, yang ditulis ulang oleh para siswa, serta mereka diminta untuk memberikan komentar (syarah-hasyiyah) terhadapnya.

Metode ini terus diwariskan dalam beberapa aspek pentingnya oleh lembaga pesantren sampai saat ini. Kita melihat fakta pula bahwa bentuk dan rupa lembaga pendidikan pesantren semakin menunjukkan keberagaman. Meskipun dapat juga orang berkata suatu bentuk pergeseran kebudayaan.

Apapun hal itu, fenomena kitab kuning saat ini dalam hemat saya merupakan fenomena yang unik. Di balik menurunnya tingkat literasi masyarakat milenial, dengan indikator menurunnya tingkat pembelian buku di pasar-pasar buku ternama di Jakarta misalnya (NU Online), penjualan kitab kuning masih tetap eksis dengan masyarakat pesantren sebagai penggunanya. Sebagaimana dijelaskan Azra (1999) Pesantren dan kitab kuning kiranya merupakan warisan kebudayaan literasi masyarakat Islam yang unik dan tetap bertahan sampai saat ini.

Faisal Ismail (1996) menjelaskan sebagai berikut:

Pesantren, sebagai lembaga pendidikan tradisional, tidak dapat diragukan lagi berperan sebagai pusat dalam transmisi dan desiminasi ilmu-ilmu keislaman, terutama yang bersifat kajian-kajian klasik. Pangajaran kitab kuning (sebagaimana sering dikatakan orang untuk pesantren) telah menjadi karakteristik yang menjadi cirri khas dari proses belajar-mengajar di pesantren, khususnya yang tergolong pesantren salaf yang menggunakan metode pegon dan weton. (Faisal Ismail, 2004:96-97)


Malang, 15 Juni 2023 


R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar