Setelah berbagai ekspansi yang dilakukan pemerintahan Islam, sebagai akibatnya maka masyarakat muslim mulai bertemu dengan berbagai kebudayaan lain yang berada di luarnya. Hal ini menimbulkan beberapa dampak bagi perkembangan keilmuan dalam Islam. Perkembangan tanda baca seperti pembubuhan titik dan harokat pada ortografis arab, perkembangan ilmu tajwid, dan Ilmu nahwu sebagai ilmu tata bahasa arab merupakan beberapa dampak (impact) dari semakin meluasnya teritorial kekuasaan pemerintahan Islam.
Persoalan bagaimana pendidikan Islam dilaksanakan juga mendapatkan dampak dari penyebaran Islam ke berbagai daerah dan interaksi kebudayaan Islam dengan kebudayaan lainnya. Pemikiran para tokoh-tokoh muslim mengenai bagaimana pembelajaran Al-Qur’an dilaksanakan juga berbeda-beda. Sebagaian ulama seperti Al-Qadli Abu Bakar Al-Arabi menyerukan agar supaya pembelajaran Bahasa Arab diberikan terlebih dahulu kepada para pelajar agama Islam sebelum pembelajaran Al-Qur’an. Hal ini dilakukan agar supaya ketika pembelajaran Al-Qur’an yang menggunakan Bahasa Arab diberikan kepada mereka, mereka para pelajar telah mengerti apa yang diajarkan kepadanya. Memahami Al-Qur’an dalam pandangan Al-Arabi akan lebih mudah jika peserta didik telah memiliki modal kemampuan dan pengetahuan Bahasa Arab.
Hal demikian ini juga tampak pada tulisan dalam muqaddimah Tafsir Muqatil bin Sulaiman. Ada tertulis demikian:
عن سفيان الواسطى، قال: إن مثل من قرأ القرآن ولم يعلم تفسيره كمثل رجل جاءه كتاب أعز الناس عليه ففرح به فطلب من يقرؤه (له) فلم يجده وهو أمى. فهكذا من قرأ القرآن ولم يدر ما فيه.
Artinya:
Dari Sufyan Al-Wasithiy, Ia berkata: sesungguhnya perumpamaan orang yang membaca Al-Qur'an sedang ia tidak mengerti tafsirnya, (adalah) seperti seorang laki-laki yang datang kepadanya sebuah Kitab yang meluhurkan manusia di atas-Nya. Maka ia bergermbira karena-Nya. Maka ia pun mencari orang yang bisa membacakannya (Al-Qur'an), maka ia tidak menemukannya sedang ia sendiri tidak bisa membaca tidak bisa menulis. Demikianlah orang yang membaca Al-Qur'an sedang ia tidak tau artinya. (Tafsir Muqatil bin Sulaiman)
Demikian pula Muqatil bin Sulaiman mengatakan sebagai berikut:
من قرأ القرآن فلم يعلم تأويله فهو فيه أمى
Artinya:
Barang siapa yang membaca Al-Qur'an dan tidak mengerti ta'wil-nya, maka ia dalam hal ini adalah ummi (buta huruf).
Ibnu Khaldun memiliki pendapat yang sama dengan kesemua hal tersebut. Meskipun dalam beberapa hal ia berbeda pendapat. Ibnu Khaldun menyetujui pendapat bahwa pemahaman akan Bahasa Arab akan dapat membantu terhadap pemahaman peserta didik terhadap Al-Qur’an. Ia (Ibnu Khaldun) mengatakan bahwa apabila anak-anak mulai belajar Al-Qur’an, maka mereka berarti telah membaca sesuatu yang tidak mereka mengerti artinya. Mendahulukan pembelajaran Bahasa Arab sebelum pembelajaran Al-Qur’an sebagai suatu metode bagi Ibnu Khaldun dapat diterima adanya.
Akan tetapi, bagi Ibnu Khaldun, dalam praktinya metode tersebut tidak dapat serta-merta dilaksanakan. Hal ini dengan memerptimbangkan beberapa hal. Pertama: dengan mempertimbangkan tradisi yang telah berjalan pada hampir semua dunia Islam, maka metode tersebut tidak dapat diterapkan. Sudah menjadi tradisi di kebanyakan dunia Islam bahwa sejak awal para anak-anak kaum muslim sudah diajarkan cara membaca Al-Qur’an serta dibiasakan membacanya. Hal ini berkaitan dengan keyakinan ummat Islam akan keberkahan membaca Al-Qur’an meskipun tidak mengerti artinya. Membaca Al-Qur’an sebagaimana diyakini secara umum masyarakat Islam adalah berpahala dan mengandung keberkahannya sendiri meskipun pembaca tidak mengerti artinya.
Alasan kedua adalah: bahwa adanya kekhawatiran bahwa jika peserta didik tidak dibiasakan membaca Al-Qur’an maka ia akan tumbuh besar tanpa Al-Qur’an sama sekali. Rentetan dari hal ini akan memungkinkan mereka terlepas dari Al-Qur’an sama sekali karena telah terkena pengaruh hal-hal (pengetahuan) yang lain yang bisa saja tidak baik bagi tumbuh kembang pikiran dan jiwa mereka. Hal yang demikian ini akan lebih buruk keadaannya.
Mengutip dari pada apa yang dijelaskan Dr. Athiyah Al-Abraysi seorang filsuf pendidikan dari kalangan muslim dalam bukunya At-Tarbiyyah Al-Islamiyyah wa Falsafatuha, ia mengatakan:
“Kinginan untuk mendapat berkah dari Al-Qur’an ini serta sangatnya mereka berpegang kepada Al-Qur’an ini dan mengkhawatirkan pula hilangnya kesempatan untuk menghafalnya kalau tidak di waktu kecil, ternyata telah mengalahkan prinsip-prinsip pendidikan menurut teori Ibnu Khaldun yang mengatakan: ‘ajalralah anak-anak itu dengan apa yang ia sanggup mengerti, sesuai dengan daya tangkapnya dan memenuhi pula keinginan, pembawaan dan kebutuhannya.” (Al-Abrasyi, 1970:192)
Kita melihat bahwa kebudayaan Islam di Indonesia sedari dahulu juga menjadikan pembelajaran Al-Qur’an sebagai pelajaran bagi pemula. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Musyrifah Sunanto, bahwa sejak kerajaan Mataram, anak-anak kecil sudah dikenalkan dengan cara membaca Al-Qur’an dan pembiasaan membaca serta menghafal juz ‘amma (dan surah Al-Fatihah tentunya) untuk kepentingan shalat lima waktu. (Sunanto, 2009). Martin van Bruinessen juga menjelaskan bahwa dalam kebudayaan Islam di Nusantara, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang tertua, pada tingkat dasar mengajarkan cara membaca (dan menghafal Al-Qur’an).
Kita melihat bahwa pembelajaran dan pembiasaan serta hafalan Al-Qur’an adalah layak diberikan sebagai pelajaran awal bagi peserta didik. Di luar alasan-alasan yang telah diuraikan, hal ini juga telah memenuhi prinsip-prinsip dalam Al-Qur’an untuk dimulai dengan membacakan Al-Qur’an kepada manusia sebagai permulaan penanaman benih-benih keimanan dalam pendidikan Islam. Misalnya di dalam QS. Al-Jumu’ah ayat 2 dijelaskan:
هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الأمِّيِّينَ رَسُولا مِنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ (٢)
Artinya:
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata.
Disamping itu, perlu adanya integrasi di dalam dua pandangan tersebut. Ayat-ayat Al-Qur’an dapat internalisasi dalam pembelajaran Bahasa Arab. Hal ini mungkin merupakan suatu sintesa yang dapat menjadi solusi mengingat bahwa pada mulanya ilmu tata bahasa arab merupakan suatu usaha untuk menjaga cara dan makna pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an dari ketergelinciran pembacaan dan pemaknaan. Di dalam praktiknya, pembelajaran bahasa arab (seperti ilmu nahwu misalnya) di dalamnya banyak diberikan latihan yang menghadirkan contoh-contoh dari Al-Qur’an. Pada dasarnya ini bukanlah sesuatu yang baru, karena banyak dari karya kitab nahwu di masa klasik seperti Kawakib Ad-Dzurriyyah karya Al-Ahdal yang banyak menghadirkan contoh-contoh dari ayat Al-Qur’an untuk dianalisis secara gramatikanya.
R. Ahmad Nur Kholis
Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Kec. Ngajum Kab. Malang
Pengajar di Pondok Pesantren PPAI An-Nahdliyah Karangploso Malang
Pengajar di Pondok Pesantren PPAI Al-Fithriyah Kepanjen Malang
Dosen Filsafat Pendidikan Islam di Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Nahdlatul Ulama Karangploso Malang
ini berarti menjadi tugas khususnya bagi para guru Al-Qur'an dan Bahasa Arab
BalasHapus