Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa khutbah merupakan syarat dari sahnya shalat Jum’at. Yakni bahwa dalam shalat jum’at dipersyaratkan di dahului oleh khutbah. Sama dengan madzhab Syafi’i, dalam Madzhab Abi Hanifah juga dipersyaratkan khutbah sebelum shalat Jum’at dimulai. Hanya saja berbeda dengan madzhab Syafi’i, dalam Madzhab Hanafi Khutbah mencukupi untuk dilaksanakan satu kali, sedang dalam madzhab Syafi’i khutbah jum’at dilaksanakan dua kali dengan dipisahkan duduk di antara keduanya.
Adapun dalil masyru’iyyah khutbah jum’at pertama adalah: ayat ke-9 Al-Qur’an Surah Al-Jumu’ah yang menyatakan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, Maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Adapun dalil dari hadits mengenai khutbah adalah Hadits Nabi sebagai berikut:
صلوا كما رأيتموني أصلي
Artinya:
Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat Aku shalat
Juga terdapat Hadits Nabi dalam Shahih Muslim yang menjelaskan:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يخطب يوم الجمعة خطبتين يجلس بينهما وكان يخطب قائما.
Artinya:
Rasulullah SAW berkhotbah pada hari jum’at dengan dua kali khutbah dengan duduk di antara keduanya. Sedang Ia khutbah dalam keadaan berdiri.
Dan dalam sebuah riwayat dinyatakan:
أنه عليه الصلاة والسلام كان يخطب خطبتين يقرأ القرآن ويذكر الناس
Artinya:
Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW berkhutbah dengan dua kali khutbah, membaca Al-Qur’an dan mengingatkan manusia.
Sedangkan rukun-rukun khutbah adalah sebagai berikut: (1) memuji kepada Allah dengan lafal Al-Hamdulillah; (2) Shalawat kepada Nabi Muhammad; (3) berwasiat untuk menetapi ketaqwaan; (4) do’a untuk orang-orang beriman; dan (5) membaca salah satu dari ayat Al-Qur’an pada salah satu atau kedua khutbah.
Dalam rukun-rukun tersebut terdapat perbedaan-perbedaan di antara para ulama Syafi’iyah. Salah satunya adalah perbedaan mengenai wasiat taqwa (rukun ketiga) apakah ia harus disampaikan dalam bahasa pengantar bahasa Arab atau boleh menggunakan bahasa masing-masing negara atau bahkan masing-masing daerah?.
Jika kita melihat beberapa kitab salaf dari kalangan Syafi’iyah, jelas terlihat bahwa terdapat beberapa perbedaan di antara para ulama mengenai bagaimana dan apa yang harus digunakan sebagai bahasa pengantar khutbah. Dan dalam kitab-kitab seperti: Kifayatul Akhyar (1):149, Hasyiyah Bajuri dan kitab Mughni Muhtaj (1):428 dikatakan bahwa pendapat yang sahih adalah bahwa Khutbah disampaikan dalam Bahasa Arab bahkan meskipun disampaikan di tengah-tengah para jamaah yang tidak mengerti bahasa Arab. Di dalam kitab Kifayatul Akhyar (1):149 dikatakan:
وَهَلْ يُشْتَرَطُ كونها عربية؟ الصحيح نعم لنقل الخلف عن السلف ذلك، وقيل لا يجيب لحصول المعنى
Artinya:
Apakah Khutbah dipersyaratkan dengan Bahasa Arab? Pendapat yang Shahih adalah iya. Karena hal demikian ini diwarisi ulama khalaf dari para ulama salaf demikian. Sedang ada (pula) pendapat yang mengatakan tidak wajib demikian agar pesan khutbah dapat dipahami.
Namun demikian pemaparan mengenai kedua pendapat yang membolehkan khutbah dengan bahasa selain bahasa arab dan pendapat yang mengatakan bahwa diharuskan dengan bahasa arab dapat dijumpai dalam kitab Majmu’ Syarhul Muhadzab (4):391 secara lebih memadai. Di mana dalam kitab tersebut dikatakan bahwa:
فرع: هل يشترط كون الخطبة بالعربية؟ فيه طريقان (أصحهما) وبه قطع الجمهور: يشترط لأنه ذكر مفروض. فيشترط فيه العربية كالتشهد وتكبيرة الإحرام مع قوله صلى الله عليه وسلم (صلوا كما رأيتموانى أصلى) وكان يخطب بالعربية (والثانى) فيه وجهان حكاها جماعة منهم المتولى، أحدهما هذا، والثانى: مستحب ولا يشترط لأن المقصود الوعظ وهو حاصل بكل اللغات.
Artinya:
Pembahasan cabang: apakah dipersyaratkan khutbah harus dengan bahasa Arab? Dalam hal ini ada dua pendapat. (pendapat yang paling sahih di antara keduanya adalah) dan ini yang diputuskan oleh jumhur ulama: dipersyaratkan (dengan bahasa Arab) karena khutbah adalah dzikir yang difardhukan. Maka dipersyaratkan dalam hal itu memakai bahasa arab sebagaimana tasyahud dan takbiratul ihram. Juga karena Hadit Nabi yang menyatakan: (shalatlah kamu sebagaimana aku shalat) sedang nabi berkhotbah dengan bahasa arab. (pendapat kedua mengatakan): dalam hal ini ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah sebagaimana disebutkan (yaitu) wajib memakai bahasa arab. Sedangkan pendapat kedua ialah sunnah memakai bahasa arab dan tidak dipersyaratkan. Karena maksud dari khutbah adalah peringatan dan itu dapat dilaksanakan dengan semua bahasa.
Dari pernyataan di atas dapat kita simpulkan bahwa terdapat dua pendapat mengenai bahasa pengantar khutbah ini yaitu: (1) Wajib menggunakan Bahasa Arab; dan (2) boleh menggunakan bahas selain arab namun disunnahkan memakai bahasa arab.
Adalah penting untuk menjelaskan mengenai alasan atau kerangka berfikir masing masing pendapat. pendapat yang menyatakan bahwa wajib menggunakan bahasa arab dalam khutbah jum’at (terkhusu pada wasiat taqwa) berlandaskan kepada dalil bahwa: (1) Khutbah jum’at adalah dzikir sebagaimana tafsir dari ayat Al-Qur’an dalam QS. Al-Jumu’ah (62):9; (2) Hadits nabi yang mengatakan: (shalatlah kamu sebagaimana Aku shalat); (3) Landasan ijma’ yaitu mengikuti kuhtbah sebagaimana ulama khalaf mencontoh ulama salaf.
Sedangkan yang mengatakan bahwa khutbah jum’at boleh dilaksanakan dengan bahasa selain bahasa Arab namun sunnah dilaksanakan dengan Bahasa Arab adalah berlandasakan pada dalil ‘aqli yaitu: (1) Bahwa khutbah pada intinya adalah wejangan (mau’idzah), sehingga boleh dilaksanakan dengan bahasa apapun; (2) Disunnahkan menggunakan Bahasa Arab karena mengikuti (ittiba’) Rasulullah.
Malang, 25 Dzulqa'dah 1441 / 16 Juli 2020
R. Ahmad Nur Kholis

Bagus...
BalasHapus