Oleh: R. Ahmad Nur Kholis, M.Pd
Dulu, saya punya guru. Namanya Kiai Shholehuddin. Bagi saya, Ia merupakan salah satu dari beberapa guru utama saya dalam masalah agama. Karena dari Kiai inilah saya belajar dasar-dasar agama. Ia memiliki sebuah Madrasah Diniyah yang disanalah saya belajar. Madrasahnya bernama: “Tarbiyatul Mubtadiin.”
Sebagaimana juga ulama dan Kiai-kiai lain, bagi saya Kiai Solehudin (masyarakat desa saya biasa memanggilnya Kiai Saleh) memiliki keunikan-keunikannya sendiri sebagai hasil pengalaman ilmu yang ia dapat dari guru-gurunya. Saya melihat kehidupan sehari-hari Kiai Saleh sebagian besar dihabiskan untuk mengajarkan ilmu dan ibadah. Hampir bisa dipastikan kegiatannya hanya seputar Shalat, Nderes Kitab, Wiridan, Mengajar dan Merenung sendirian di emperan masjid jika menjelang tengah malam itu saja. Selain juga istirahat tidur dan makan.
Secara umum, Kiai Sholeh waktu itu memiliki sekitar 1000-an lebih santri yang mengaji di Madrasah Diniyahnya. Dari jumlah sekian itu ada hanya sekitar belasan orang saja yang mengikuti pengajian al-Qur’an dan Kitab kuning di malam hari. Dan hanya satu orang saja yang merupakan santri mukim. Selebihnya adalah santri kalong yang pulang ke rumah jika pengajian selesai.
Dari segi umur, santri Kiai Shaleh ini, bisa digolongkan seusia SD/MI. Akan tetapi, tidak sedikit pula yang masih seumur TK, dan bahkan anak yang barus bisa bicarapun diterima Kiai Shaleh. Memang, yang namanya orang desa, ada yang saking kepinginnya anaknya sekolah agama, masih kecilpun sudah ‘dititipkan’ pada kiai Shaleh. Ada juga yang sekedar ikut-ikutan karena sedang diajak si kakah yang sedang dipasrahi orang tuanya mengasuh adiknya. Ya, macam-macam lah motif mereka menyekolahkan. Semuanya diterima Kiai Shaleh tanpa proses pendaftaran apapun dan apalagi tes ujian masuk.
Yang unik dari guru saya yang satu ini adalah karakternya yang dingin dan juga keras bahkan kepada muridnya yang masih kecil sekalipun. Dia tidak banyak bicara, sedikit sekali kalau ia bicara, mungkin hanya satu-dua patah kata. Namun bisa membentak sekeras-kerasnya kepada muridnya yang nakal. Juga bisa saja memukul, menampar bahkan kepada anak yang masih kecil jika saja si-anak tidak mengikuti jamaah Asar atau semacamnya. Tidak pandang bulu, bahkan kepada anaknya sendiripun demikian. Tasbih putus karena dipukulkan pada santri adalah biasa bagi kami, santri Kiai Shaleh.
Saya ingat, suatu ketika Kiai Shaleh itu tanpa banyak bicara pernah menghantam salah satu santrinya yang baru seusia anak baru masuk SD karena masalah bertengkar dengan temannya. Ya, menagislah si-anak sejadi-jadinya. Pernah juga ia meninju salah seorang santri kelas IV teman saya karena perilakunya yang keterlaluan. Sama seperti sebelumnya, menangislah juga si anak itu.
Seperti biasanya, sehabis shalat jamaah, semua santri diwajibkan mengikuti ‘dzikir jahr’, tidak boleh ada yang diam tidak membaca wiridan, apalagi tidur atau bicara sendiri. Namun, pernah suatu ketika putranya sendiri tidak membaca wiridan karena mengantuk dan tertidur dalam posisi duduk. Langsung saja ia mengambil sebatang lampu neon yang panjang dipukulkan pada anaknya. Bisa dibayangkan suara lampu neon yang pecah itu bagaimana?, di dalam masjid yang suaranya bisa menggema. Bagi kami para santri yang masih kecil itu bagaikan suara senapan yang ditembakkan. Keadaan menjadi hening sesaat setelah itu. Si-Gus-nya pun menjadi kaget dan ketakutan. Namun kemudian pembacaan wirid dilanjutkan. Kiai Shaleh kalau wiridan bisa panjang, tahlilnya bisa seribu lebih sekali duduk.
Namun, demikian, ia bukanlah sosok yang melulu keras kepada santrinya. Kemarahan itu hanya seketika itu saja. Saat melihat santrinya sedang melakukan kesalahan. Setelah itu ya, sudah selesai. Sering kali saya melihat dirinya memanggil santrinya yang habis dimarahi atau dipukul untuk diajak makan bersamanya atau diberi sesuatu, entah makanan atau uang.
Karakter yang demikian ini membuat kiai Shaleh menjadi sosok yang ditakuti bagi kami anak-anak kecil. Sudah bisa dipastikan kelas yang ramai bisa seketika hening hanya dengan mendengarkan suara bengkiak (terompah) Kiai Shaleh saat berjalan. Atau ketika mendengar beliau berbicara dengan tamunya di ndalemnya.
Namun sosoknya yang berwibawa, keilmuannya yang luas dan ibadahnya yang kenceng, membuat pribadi kiai Shaleh menjadi dihromati oleh masyarakatnya. Sehingga sekeras apapun didikan kiai Shaleh tidak ada masyarakat yang protes. Di balik sikapnya keras, ternyata di sisi lain ia juga bisa mengayomi masyarakat yang haus akan ilmu dan membutuhkan pengayoman. Seringkali saya melihat (karena rumah saya dekat dengan kiai Shaleh) bahwasanya setiap ada orang yang susah datang kepadanya untuk suatu permasalahan, ia pulang dengan perasaan senang karena permasalahannya terpecahkan. Dakwahnya tidak memberatkan dan menyulitkan masyarakat. Akan tetapi bukan berarti terlalu meringankan dan terkesan memudahkan. Tetap dalam koridor-koridor keringanan yang dapat dimaklumi agama.
Kiai Shaleh adalah sosok yang murah hati. Seingat saya, seringkali saya melihat orang-orang yang datang kepadanya untuk sebuah permasalahan atau untuk memberikan sedekah seadanya kepada Sang Kiai. Kemudian orang yang datang itu disuruhnya dahulu ke dapur untuk makan. Ada juga wali santri yang datang membawa anaknya untuk pamitan akan memondokkan anaknya ke sebuah pesantren karena madrasah diniyahnya sudah lulus. Kiai lalu membelikannya keperluan-keperluan sehari-hari seperti sabun mandi, sabun cuci, bak untuk mencuci baju dan tidak jarang juga memberikan uang, meskipun terkadang seadanya, tidak terlalu banyak. Saya juga ingat bahwa setiap ada makanan, Kiai Shaleh selalu memanggil saya untuk makan bersamanya. Dasar kurang ajar, saya yang masih kecil waktu itu memberanikan diri dengan bertanya: “Dapat dari mana Kiai ?.” Mendengar itu biasanya Kiai Langsung menjawab: “Sudahlah, pokoknya ini dari yang halal, cepat kita habiskan supaya cepat diganti oleh Allah.” Katanya. Sekarang saya tahu bahwa bertanya hal itu adalah lancang. Astaghfirullah.
Kiai Shaleh tidak bekerja. Namun ia memiliki beberapa petak sawah untuk menghidupi madrasah diniyahnya dan juga untuk kehidupan sehari-harinya, dimana seringkali ketika musim tanam padi atau tembakau, kamilah para santri yang disuruh menanam. Rumahnya kecil dan sederhana. Hasil panen biasanya, sebagian kecil ia manfaatkan untuk dirinya. Namun sisanya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan madrasahnya, seperti membeli kapur, memperbaiki papan dan bangku, membantu kebutuhan para ustadz dan semacamnya, juga untuk membantu anak yatim utamanya dari kalangan santrinya. Jaman waktu itu para ustadz kami sepertinya tidak mengenal bisyarah untuk madrasah diniyah. Bahkan ada suatu statemen yang waktu itu sangat melekat pada diri ustadz-ustadz kami bahwa kalau ingin gaji ya jadi PNS atau guru umum. Tapi kalau madin tidak boleh memikirkan hal itu. Mereka hidup dengan pekerjaannya sendiri-sendiri.
Kiai Shaleh memiliki kebiasaan unik dalam hal makan. Ia sepertinya memang bukan tipe kiai yang suka berpuasa. Waktu sarapan pagi ia sudah menghabiskan sepiring penuh nasi dengan sayur hangat di dapur. Dan seringnya masih tambah lagi. Meja makannya penuh dengan berbagai macam lauk-pauk dan sayuran. Sehabis itu, ia lalu menuju ruang tamunya tempat biasanya dia mengaji atau nderes, dimana disana tersedia berbagai macam minuman dan makanan ringan.
Namun demikian, wiridannya banyak sekali. Ia rajin membaca al-Qur’an. Bisa berlembar-lemabar tiap hari ia membaca Kitab Suci. Bisa dikatakan bahwa hampir setiap saya melihatnya, Kiai Shaleh dalam kondisi membaca Al-Qur'an, Kitab Kuning (Seringnya sih Kasyifah karya Syaikh Nawawi atau Bidayah Al-Hidayah Karya Al-Ghazali), dan juga Kitab Dalail Khairat, tapi melihat wataknya yang keras mungkin Kiai ini suka membaca Hizib ....
Untuk masalah ini ia beranggapan bahwa dengan banyak mengaji, wiridan dan aktifitasnya mengajar berarti mengimbangi banyaknya makanan yang masuk ke dalam perut. Artinya energi dari makanan kita gunakan untuk kebaikan bukan untuk sesuatu yang leha-leha apalagi sebuah kejelekan. Maka, pantaslah jika di mata kami para murid, nama Kiai Shaleh identik dengan Kiai dengan perut yang gendut. Tapi, pernah sekali ia bercanda kepada kami dengan bilang: “Perut saya ini gendut isinya bukan nasi atau makanan anak-anak, tapi ilmu.” Katanya. Lalu membuat saya dan teman-teman tertawa.
Saya merasa bahwa saya adalah murid yang paling dekat dengan Kiai Shaleh. Bahkan dibanding putranya sendiri. Kebetulan rumah saya berdekatan dengan ndalemnya. Setelah saya dewasa dan sudah mondok di pesantren di malang, setiap kali saya pulang sering disuruh mengimami shalat jamaah asar. Dan bisa dipastikan saya dipasrahi mengajar madrasahnya. Ia pernah bilang kepada saya, bahwasanya setiap dirinya memukul para santri, senantiasa ia barengi atau iringi dengan do’a. “Bismillah, Ya Allah Jadikanlah anak yang Shaleh.” Katanya suatu ketika kepada saya. Saya lalu terpikir, inilah mungkin yang membuat kami para murid merasa tidak dendam sedikitpun kepadanya.
Awal tahun 2009 lalu, kami harus berduka. Karena Kiai Shaleh harus berpulang ke Rahmatullah setealah beberapa lama dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Pamekasan. Ia dirawat karena diabet yang dideritanya. Mungkin dapat dimaklumi penyakit itu timbul karena pola makannya yang susah diatur.
Mendengar wafatnya sang kiai, masyarakat desa kami menjadi sedih. Mereka beramai-ramai menyambut jenazahnya dari RSUD dengan membaca tahlil dan shalawat. Banyak diantara masyarakat desa kami yang sebagian besarnya adalah merupakan alumni madrasahnya menitikkan air mata. Segala bantuan datang dari masyarakat untuk keperluan perawatan jenazahnya. Mulai dari proses perawatan, penguburan sampai 40 (empat puluh) harinya. Memang, kami mengenal Kiai Shalehudin selalu terdepan untuk memperhatikan urusan perawatan jenazah kematian seseorang di desa kami.
Setelah tidak beberapa lama kewafatan beliau, rumahnya yang sangat sederhana dibangun menjadi lebih baik. Semua pekerjaannya diurusi para alumni murid Kiai Shaleh. Mulai dari pengerjaan sampai masalah biaya dan bahan-bahannya. Madrasah Diniyah kami ini kemudian diteruskan oleh putranya Lora Ibnun Hasan. Tenaga pengajarnya kebanyakan adalah alumni madrasah ini sendiri. Tetap dengan jiwa dan ruh kesederhanaan Kiai Shaleh.
Tiada dendam untuk kiai Shaleh. Karena apa yang ia lakukan untuk muridnya adalah datang dari hatinya. Lillahi ta'ala...... dan untuk beliau berjuta-juta Al-Fatihah dari ribuan santrinya. Allahummaghfir Lahu warhamhu wa Afiihi wa’fu Anhu... 1000x. Amin 1000x.....
Malang, 27 Oktober 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar